Selasa, 10 Mei 2016


“LIBURAN YANG MENYESATKAN”


Baru pertama kali menginjakkan kaki ke bioskop di saat liburan. Alhasil menyayat hati, pilu dan geram. Bagaimana tidak, di salah satu bioskop ternama di bilangan Metland Cileungsi, mata ini terheran-heran melihat bayi berkisaran usia 2 bulan hingga anak2 berusia 2-11 th, dibawa serta orangtuanya ke bioskop. Aneh, kesel dan sedih pun menyatu....bagaimana tidak??? niatnya mau mencari hiburan malah terganggu dg pemandangan yang ada. AADC 2 dan Civil War yang mampu menyita perhatian masyarakat, mampu melawan akal sehat orangtua untuk sekedar memenuhi hasratnya semata tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan kelak bagi anak2 mereka pasca menonton.
Mungkin niatnya baik mengajak anak2 berlibur, tapi klo berliburnya kayak gini mah.......ampyuuuuunnn deh malah menyesatkan!!. Padahal sudah jelas-jelas ada sign 13+, yg artinya hanya boleh ditonton oleh anak-anak berusia 13-17 th (ini untuk film Civil War, ga tau deh klo yang AADC2 boleh untuk usia berapa...?!). LSF pun selaku pemegang hak sensor di Indonesia pastinya sudah mengidentifikasi film2 sesuai kategori usia.  Hal ini tentunya sesuai dengan fungsi LSF sebagaimana tercantum dalam pasal 7 PP No. 18/2004. Pada pasal ini menjelaskan bahwa LSF harus memberikan perlindungan kpd masyarakat dari dampak negatif yg timbul dari peredaran dan pertunjukkan film (tayangan bioskop masuk kategori ini). Namun sangat...sangat...disayangkan adalah dalam pasal 8, LSF hanya berwenang untuk mengusulkan sanksi administrasi terhadap pelaku kegiatan/pelaku usaha perfilman ketika melanggar UU perfilman. Apakah pelaku usaha perfilman dalam hal ini pihak bioskop bersalah?!!!!. Sangat jelas bersalah...., salah karena telah mengabaikan hak anak untuk mendapat pertunjukan film yang seharusnya sesuai usia perkembangannya. Di sini, pihak bioskop hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata. Bagaimana tidak?, di dalam teater di mana saya menonton Civil War, terhitung 40 anak di bawah usia 13 th bersama orangtuanya menonton tayangan yang penuh kekerasan. Itupun yang terhitung oleh saya sebelum tayangan di mulai, mungkin ada anak-anak lain yang terlewat dari pandangan mata manakala teater sudah diredupkan cahayanya. “ sungguh menyedikan....mereka melihat tayangan kekerasan  yang itu kelak terekam dalam indera mereka.    
Mengapa saya berani mengatakan pelaku usaha perfilman dalam hal ini piak bioskop hanya memikirkan ekonomi semata? Kalau memang peduli dan menjalankan aturan yang ada, mereka tidak akan menjual tiket secara bebas kepada anak-anak di bawah usia. Sekarang kalau perhitungannya dalam 1 hari saja, omzet yang didapat tentunya besar. Apalagi memanfaatkan animo masyarakat untuk menonton 2 film di atas. Andaisaja dalam 1 hari 4x penayangan maka 4 x 40 anak x @Rp. 35.000. sudah berapakah? Ini baru satu teater. 
     Kondisi seperti ini pun diperparah lagi dengan peraturan hukum yang berlaku di negeri ini tidak kuat. Sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi administrasi yaitu berupa teguran tertulis oleh KPI. Ga percaya? Silahkan lihat Mou antara LSF dan KPI tahun 2012. Sanksi yang begitu ringan pastinya tidak akan digubris oleh pihak/pelaku usaha dan kegiatan perfilman. Ibarat anak saja, ketika ditegur maka berlalu begitu saja. Miris memang peraturan yang ada di negeri ini masih berorientasi bisnis dan berpihak pada kepentingan segolongan orang saja. Padahal nasib negeri ini kelak berada di tangan mereka (anak-anak) yang akan melanjutkan tongkat estafet pemerintahan demi mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Sanksi administrasi itu pun akan diberikan jika ada pengaduan dari masyarakat kepada LSF/KPI. Kalau tidak ada pengaduan masyarakat? Ya amanlah para pelaku usaha perfilman menjalankan usaha bisnisnya.
Sudah seharusnya Lembaga Sensor Film, Komisi Penyiaran Indonesia dan KPAI benar-benar menjalankan tugasnya bersama pihak terkait untuk mewujudkan tayangan sehat dan bermanfaat untuk masyarakat, termasuk anak-anak di dalamnya. Diperlukannya peraturan hukum yang lebih tegas terhadap perlindungan anak dari kejahatan non fisik yang merusak moral, karakter anak. Kejahatan ini lebih kejam daripada kejahatan fisik yang dapat disembuhkan dalam waktu singkat. Dan bagi para orangtua pun harus disadari bahwa membahagiakan anak tidak serta mengikuti apa kemauannya. Pilihlah liburan yang sehat secara emosi, agama, sosial dan lain sebagainya. Bukan hanya sekedar karena kasian kepada anak kalau ditinggal dirumah lantas kemudian membawa serta ke bioskop untuk menonton tayangan yang tidak sesuai dengan usia perkembangannya.       



Tidak ada komentar:

Posting Komentar