“LIBURAN YANG MENYESATKAN”
Baru pertama kali menginjakkan
kaki ke bioskop di saat liburan. Alhasil menyayat hati, pilu dan geram.
Bagaimana tidak, di salah satu bioskop ternama di bilangan Metland Cileungsi,
mata ini terheran-heran melihat bayi berkisaran usia 2 bulan hingga anak2
berusia 2-11 th, dibawa serta orangtuanya ke bioskop. Aneh, kesel dan sedih pun
menyatu....bagaimana tidak??? niatnya mau mencari hiburan malah terganggu dg
pemandangan yang ada. AADC 2 dan Civil War yang mampu menyita perhatian masyarakat,
mampu melawan akal sehat orangtua untuk sekedar memenuhi hasratnya semata tanpa
memikirkan dampak yang akan ditimbulkan kelak bagi anak2 mereka pasca menonton.
Mungkin niatnya baik mengajak
anak2 berlibur, tapi klo berliburnya kayak gini mah.......ampyuuuuunnn deh
malah menyesatkan!!. Padahal sudah jelas-jelas ada sign 13+, yg artinya hanya
boleh ditonton oleh anak-anak berusia 13-17 th (ini untuk film Civil War, ga
tau deh klo yang AADC2 boleh untuk usia berapa...?!). LSF pun selaku pemegang
hak sensor di Indonesia pastinya sudah mengidentifikasi film2 sesuai kategori
usia. Hal ini tentunya sesuai dengan
fungsi LSF sebagaimana tercantum dalam pasal 7 PP No. 18/2004. Pada pasal ini
menjelaskan bahwa LSF harus memberikan perlindungan kpd masyarakat dari dampak
negatif yg timbul dari peredaran dan pertunjukkan film (tayangan bioskop masuk
kategori ini). Namun sangat...sangat...disayangkan adalah dalam pasal 8, LSF
hanya berwenang untuk mengusulkan sanksi administrasi terhadap pelaku
kegiatan/pelaku usaha perfilman ketika melanggar UU perfilman. Apakah pelaku
usaha perfilman dalam hal ini pihak bioskop bersalah?!!!!. Sangat jelas
bersalah...., salah karena telah mengabaikan hak anak untuk mendapat
pertunjukan film yang seharusnya sesuai usia perkembangannya. Di sini, pihak
bioskop hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata. Bagaimana tidak?, di dalam
teater di mana saya menonton Civil War, terhitung 40 anak di bawah usia 13 th
bersama orangtuanya menonton tayangan yang penuh kekerasan. Itupun yang
terhitung oleh saya sebelum tayangan di mulai, mungkin ada anak-anak lain yang
terlewat dari pandangan mata manakala teater sudah diredupkan cahayanya. “
sungguh menyedikan....mereka melihat tayangan kekerasan yang itu kelak terekam dalam indera
mereka.
Mengapa saya berani mengatakan
pelaku usaha perfilman dalam hal ini piak bioskop hanya memikirkan ekonomi
semata? Kalau memang peduli dan menjalankan aturan yang ada, mereka tidak akan
menjual tiket secara bebas kepada anak-anak di bawah usia. Sekarang kalau perhitungannya
dalam 1 hari saja, omzet yang didapat tentunya besar. Apalagi memanfaatkan
animo masyarakat untuk menonton 2 film di atas. Andaisaja dalam 1 hari 4x
penayangan maka 4 x 40 anak x @Rp. 35.000. sudah berapakah? Ini baru satu
teater.
Kondisi seperti ini pun diperparah lagi dengan peraturan hukum yang
berlaku di negeri ini tidak kuat. Sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi
administrasi yaitu berupa teguran tertulis oleh KPI. Ga percaya? Silahkan lihat
Mou antara LSF dan KPI tahun 2012. Sanksi yang begitu ringan pastinya tidak
akan digubris oleh pihak/pelaku usaha dan kegiatan perfilman. Ibarat anak saja,
ketika ditegur maka berlalu begitu saja. Miris memang peraturan yang ada di
negeri ini masih berorientasi bisnis dan berpihak pada kepentingan segolongan
orang saja. Padahal nasib negeri ini kelak berada di tangan mereka (anak-anak)
yang akan melanjutkan tongkat estafet pemerintahan demi mewujudkan cita-cita
dan tujuan negara. Sanksi administrasi itu pun akan diberikan jika ada
pengaduan dari masyarakat kepada LSF/KPI. Kalau tidak ada pengaduan masyarakat?
Ya amanlah para pelaku usaha perfilman menjalankan usaha bisnisnya.
Sudah seharusnya Lembaga
Sensor Film, Komisi Penyiaran Indonesia dan KPAI benar-benar menjalankan
tugasnya bersama pihak terkait untuk mewujudkan tayangan sehat dan bermanfaat
untuk masyarakat, termasuk anak-anak di dalamnya. Diperlukannya peraturan hukum
yang lebih tegas terhadap perlindungan anak dari kejahatan non fisik yang
merusak moral, karakter anak. Kejahatan ini lebih kejam daripada kejahatan
fisik yang dapat disembuhkan dalam waktu singkat. Dan bagi para orangtua pun
harus disadari bahwa membahagiakan anak tidak serta mengikuti apa kemauannya.
Pilihlah liburan yang sehat secara emosi, agama, sosial dan lain sebagainya.
Bukan hanya sekedar karena kasian kepada anak kalau ditinggal dirumah lantas
kemudian membawa serta ke bioskop untuk menonton tayangan yang tidak sesuai
dengan usia perkembangannya.